UMAR SANDI

http://umarzandi.blogspot.com

Senin, 07 Februari 2011

Arbitrase

http://umarzandi.blogspot.com
Makalah Tentang Arbitrase
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peranan badan arbitrase di dalam penyelesaian sengketa – sengketa bisnis di bidang perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini adalah semakin penting. Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase dan memang bagi kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberi keuntungan sendiri daripada melalui badan peradilan nasional.
Untuk menyelesaikan sengketa – sengketa melalui badan arbitrase ini, hukum yang akan diberlakukan oleh dewan arbitrase pertama – tama adalah hukum yang dipilih oleh para pihak sebagaimana yang tertulis dalam klausula tambahan dokumen kontrak atau perjanjian. Apabila tidak ada hukum yang tegas – tegas di pilih oleh para pihak, maka hukum yang akan diberlakukan adalah hukum di mana perjanjian atau kontrak dibuat.
Di tahun 1999, pemerintah Negara Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.
B.     Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
  1. Apakah yang dimaksud dengan arbitrase
  2. Bagaimanakah Arbitrase menurut ketentuan UU Nomor 30 Tahun 1999




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Defenisi Arbitrase
Perkataan arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Sedangkan beberapa sarjana dan peraturan perundang-undangan yang ada memberikan defenisi Arbitrase sebagai berikut.
  1. Subekti
Menurut Subekti (1992:1) menyatakan bahwa arbitrase adalah : “Penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.”
  1. HMN.Poerwosutjipto
Menurut HMN. Poerwosutjipto (1992:1), yang mempergunakan istilah perwasitan untuk arbitrase ini, menyatakan bahwa: “Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.”
  1. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif  Penyelesaian Sengketa Umum
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif  Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, Arbitrase adalah “Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
B.     Dasar Hukum Berarbitrase
Dasar hukum berarbitrase adalah dasar hukum yang dipergunakan seseorang untuk dapat menyelesaikan perselisihannya melalui arbitrase, baik dalam kerangka arbitrase nasional maupun internasional. Dasar hukum tersebut adalah:
  1. UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum
  2. UU No.5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
  3. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York 1958
  4. Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1990 mengenai peraturan lebih lanjut tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
C.     Lembaga Arbitrase
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Berdasarkan eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara pihak yang mengadakan perjanjian ada dua jenis arbitrase yaitu:
  1. Arbitrase ad hoc
Arbitrase ad hoc adalah (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.
  1. Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen. Ciri dari lembaga arbitrase institusional ini yang dapat pula dikatakan sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut:
1.      Arbitrase institusinal sengaja didirikan untuk bersifat permanen/selamanya, sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselisihan selesai diputus.
2.      Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul, sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak yang bersangkutan.
3.      Karena bersifat permanen, arbitrase institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak ada sama sekali
Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada pula yang bersifat internasional. Dikatakan bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan. Sementara dikatakan bersifat internasional karena merupakan pusat penyelesaian persengketaan antara pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional yang dikenal adalah:
1.      Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
2.      Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
3.      The Internasional Centre for Settlement of Invesmen Disputes (ICSID)
4.      The Court of Arbitrasetion of The Internasional Chamber of Commerce (ICC)
D.    Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat”. perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian ketentuan pasal 1253-1267 KUHPerdata. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak.
Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi materi pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut klausula arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. Jadi perjanjian arbitrase bersifat asesoir, dimana keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Walaupun tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan terus dan berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, tidak akan pernah ada perjanjian arbitrase.
Dari berbagai sumber undang-undang, peraturan dan konvensi internasional, dijumpai dua bentuk perjanjian arbitrase sebagai berikut:
  1. Pactum De Compromittendo
Bentuk klausula arbitrase yang pertama, disebut Pactum de compromittendo yang berarti “kesepakatan setuju dengan putusan arbiter atau wasit”. Pactum de kompromiteendo atau disebut juga Akta kompromitendo merupakan suatu klausula  dalam perjanjian pokok dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis arbitrase
Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengikat dan meneyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum terjadi perselisihan, seakan-akan klausula arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase. Bentuk klausula pactum de compromittendo diatur dalam pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.”
Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara
a.       Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok,
b.      Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri
  1. Akta Kompromis
Bentuk perjanjian Arbitrase yang kedua disebut “akta kompromis” atau compromise and settlemen (perdamaian yang dicapai di luar pengadilan). Akta kompromis adalah perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang atau beberapa orang arbiter untuk diselesaikan. Akta kompromis harus dibuat dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, atau bisa juga dibuat di depan notaris.
Akta kompromis diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:
1)      Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
2)      Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
3)      Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a.       masalah yang dipersengketaan;
b.      nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c.       nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase;
d.      tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e.       nama lengkap sekretaris;
f.       jangka waktu penyelesaian sengketa;
g.      pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h.      pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
4)      Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

E.     Prosedur Arbitrase
Bila telah terjadi perselisihan yang penyelesaiannya disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase, prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut.
  1. Permohonan Arbitrase
Tahap pertama berarbitrase harus dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus meneyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter/majelis arbitrase (akta kompromis); atau perjanjian yang memuat klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh arbiter/majelis arbitrase.
Surat permohonan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya:
a.       Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak
b.      Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti
c.       Isi tuntutan yang jelas
  1. Penunjukan Arbiter
Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan mereka. Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka ketua pengadilan Negeri atau Ketua Lembaga arbitrase yang dipilih akan menunjuk/membentuk arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Jika sengketa itu dianggapnya sederhana dan mudah, akan ditunjuk seorang arbiter tunggal untuk memeriksa dan memutusnya.
  1. Proses pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan
Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Demikian juga, para pihak bebas menentukan jangka waktu dan tempat diselenggarakannya pemeriksaan/persidangan, termasuk arbiter atau majelis arbitrasi yang akan memutuskan.
F.      Putusan Arbitrase
Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad- hoc tersebut, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Sebagai suatu pranata (hukum), arbitrase dapat mengambil berbagai macam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi dan keadan yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan pada tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam:
1.      Putusan arbitrase nasional, yamg merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik Indonesia
2.      Putusan arbitrase internasional atau arbitrase asing, yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia
Putusan arbitrase berbeda dengan putusan badan peradilan, putusan arbitrase baik yang diputuskan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase, adalah merupakan putusan pada tingkat akhir (final), dan karenanya secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak. Namun meskipun demikian, putusan arbitrase masih bisa dilakukan upaya pembatalan putusan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang diatur dalam Bab VII tentang Pembatalan Putusan Arbitrase, pasal 70-72 Undang-undang No. 30 Tahun 1999.
G.    Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase akan dibedakan cara pelaksanaan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional
  1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan). Ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan karena majelis tersebut tidak bersifat yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita yang bertugas melaksanakan eksekusi.
Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional, ada beberapa tahap yang akan dilalui, sebagaimana diuraikan berikut ini.
a.       Pendaftaran Putusan Arbitrase
Pasal 59 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa tahap pertama yang harus dilakukan dalam rangka eksekusi putusan arbitrase adalah tahap pendaftaran/penyimpanan atau yang disebut dengan istilah “deponir” pada Pengadilan Negeri dalam wilayah putusan tersebut dikeluarkan. Kewajiban mendaftarkan harus dilakukan paling lambat tiga puluh hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dan yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan tersebut adalah:
1)      Salah seorang anggota arbiter, atau
2)      Seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter
Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Nomor 30 tahun 1999 di atas, ditanggung oleh para pihak yan bersengketa sendiri, bukan arbiter
b.      Permohonan Eksekusi
Makna/pengertian eksekusi adalah permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilakukan perintah eksekusi terhadap putusan. Dengan demikian, tahap kedua adalah mengajukan permohonan eksekusi, yaitu permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan arbitrase
Perintah eksekusi akan diberikan dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (pasal 62 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999). Dan selama waktu tersebut, sebelum perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa terlebih dahulu, apakah putusan arbitrase itu sah atau tidak
Dikategorikan sebagai putusan arbitrase yang sah apabila:
1)      Penyelesaian perselisihan tersebut memang disepakati oleh para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase
2)      Putusan yang dimintakan eksekusi tersebut adalah putusan arbitrase yang menyangkut perselisihan bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa
  1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Sama halnya dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional,pelaksanaan putusan arbitrase internasional ini pun melalui proses yang sama, yaitu tahap pendaftaran, lalu baru kemudian eksekusi
Dalam pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “yang berwenang menangani masalah pengakuan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”
Namun demikian, tidak semua putusan arbitrase internasional dapat diakui atau dilaksanakan di Indonesia tanpa memandang dari negara mana putusan tersebut dikeluarkan. Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.       Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional. Ini disebut asas reciprositas
b.      Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c.       Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d.      Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e.       Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekusi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Untuk keperluan pendaftaran ini dokumen yang diperlukan adalah :
a.       lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal autentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b.      lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c.       keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Para sarjana memberikan definisi yang berbeda tentang arbitrase namun pada hakekat memiliki makna yang sama, bahwa arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri oleh para pihak yang berselisih
Arbitrase  sebagai salah satu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai landasan hukum dalam berarbitrase.

Minggu, 06 Februari 2011

Posting Pertama

Ini adalah Posting Pertama saya. Saya ingin memuat pengertian hukum pidana menurut Prof. Moeljatno, SH bahwa:
 Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1.    menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (criminal act),
2.    menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (criminal responsibility);
3.    menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut. (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 8)